This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.
First blog post
This is the post excerpt.
This is the post excerpt.
This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.
POLITIK DAN STRATEGI
Pengertian politik
Kata Politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya adalah polis,berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri,yaitu negara.Politik (etimologis) adalah segala sesuatu yag berkaitan dengan urusan yang menyangkut kepentingan dari sekelompok masyarakat (negara).
Lihat pos aslinya 513 kata lagi
Oleh: Yudi2
Penghayatan makna dimulai dari nama dan kata.
Setiap individu yang mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi disematkan dengan sebuah titel besar yang disebut ‘mahasiswa’. Masih dibutuhkan beberapa tahun sampai aku bisa memahami kata tersebut secara utuh. Namun, ada sebuah perspektif sederhana yang bisa digunakan untuk menelaah berbagai terminologi identitas kemahasiswaan ini. Kacamata ini sangat sering digunakan, terutama di pelbagai masa orientasi studi perguruan tinggi. Sayangnya, sudut pandang ini kurang diperdalam dan dimaknai, hanya digunakan untuk mempercantik doktrin senior semata.
Ya, etimologi.
Etimologi, menurut kamus kita tersayang, adalah sebuah cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna. Secara sederhana, kita akan mencari tahu bagaimana sebuah makna diberi nama tertentu, atau bagaimana sebuah kata memiliki makna yang sedemikian rupa.
Dalam orasi-orasi yang memekakkan pada inaugurasi mahasiswa baru, selalu digemakan dua kata yang menciptakan kutukan ini: ‘maha’ yang berarti tinggi dan ‘siswa’ yang berarti subjek pembelajar. Disematkannya kata ‘maha’ di depan ‘siswa’ menjadikan setiap pengembannya seorang pelajar tertinggi, juga seseorang yang tidak pernah cukup menuntut ilmu. Untuk itu, setiap mahasiswa hendaknya menjalankan fungsi dan peran dan hocus-pocus yang menyertainya.
Setahun silam, seorang sahabat menceritakanku tentang sebuah rahasia yang mengagitasi hati. Ia memulainya dengan sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para komandan lapangan:
Apa arti mahasiswa?
Dengan polosnya aku berujar mengenai tetek bengek ajaran para mentor berbaju kuning dulu. Kawanku hanya mengangguk, lalu membombardirku lagi dengan pertanyaan:
Apa arti maha? Apa arti siswa?
Kenapa sampai bisa dinamakan seperti itu?
Aku hampir saja menjawab kebohongan tentang maha dan siswa lagi. Tapi pertanyaan ketiga menyadarkanku bahwa ada maksud yang lebih dari seluruh pertanyaan tersebut, ada sesuatu yang lebih mendasar di sana. Maka dimulailah perjalanan kecilku mencari rahasia dibalik identitas kemahasiswaan, sebuah perjalanan untuk menguak warisan nilai para pencipta setiap kata dahulu kala.
Betul adanya bahwa mahasiswa terbentuk dari kata maha dan siswa. Asal kata maha berasal dari bahasa Sansekerta dengan arti yang hampir sama dengan KBBI, yaitu ‘sangat’, ‘besar’, atau ‘mulia’.
Sedangkan kata siswa — menurut hasil yang ditemukan — memiliki dua asal yang berbeda. Yang pertama, kata siswa merupakan serapan dari nama seorang dewa Trimurti dalam agama Hindu, yaitu Siwa. Dewa Siwa adalah dewa pelebur dan pemusnah yang tugasnya menghancurkan segala sesuatu yang telah usang dan tidak berkebaikkan lagi. Sekedar trivia, Ganesa adalah putra dari Siwa.
Asal kata siswa yang kedua adalah dari bahasa Jawa yaitu wasis. Wasis dalam bahasa Jawa adalah orang yang pandai. Maka siswa dimaknakan sebagai orang yang belum pandai, merasa tidak pandai, atau kurang berilmu. Secara sederhana, siswa adalah orang yang belum wasis.
Bagi orang awam, wisuda hanyalah sebuah upacara pelantikan seorang mahasiswa menjadi sarjana ketika dia telah melumat 144 SKS dengan baik. Namun, ada yang lebih dari itu.
Wisuda berasal dari kata Vhisuddha.Vhisuddha adalah titik chakra — titik energi di tubuh manusia — primer kelima dalam tradisi Hindu. Vhisuddha memiliki arti ‘murni yang utama’, sama seperti perannya sebagai titik chakra. Chakra Vhisuddha diketahui sebagai titik pusat pemurnian yang terletak di sekitar leher. Ketika vhisuddha ditutup, maka kita akan membusuk dan mati. Namun jika terbuka, seluruh pengalaman buruk akan berubah menjadi kebijaksanaan dan pembelajaran.
Sama halnya seperti wisuda, kata sarjana cuma jadi mantra sihir di meja interview.Sarjana cuma jadi huruf pelengkap di belakang nama kita. Tapi nenek moyang kita telah mewariskan sebuah nilai yang lebih di dalamnya.
Sarjana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu sajjana. Sajjana memiliki arti ‘berwatak baik’, ‘arif’, dan ‘terhormat’. Jaman dahulu, sarjana digunakan sebagai sebutan untuk cendekiawan atau orang pandai. Setiap orang bisa mendapatkan gelar tersebut tanpa harus merogoh kocek diperbudak oleh biaya kuliah.
Jika dimaknai, maka mahasiswa memiliki dua arti: mahasiswa sebagai orang yang seharusnya menghancurkan setiap kejahatan dan hal yang tidak lagi berkenan, serta mahasiswa sebagai orang yang sangat bodoh dan tidak berilmu. Aku secara pribadi memaknai mahasiswa sebagai orang yang sangat bodoh. Sebab, kita memiliki banyak ilmu, banyak aset dan sumber daya, namun kita belum memiliki kearifan untuk menggunakannya dengan baik. Kita justru akan ‘menghancurkan’ hal yang salah, hal-hal yang seharusnya kita selamatkan dan perbaiki. Itulah seorang mahasiswa menurutku.
Yang kita lakukan selama ini di kampus adalah untuk menjadi seorang sarjana. Bukan hanya sarjana yang menyelesaikan pendidikan S1, tetapi sarjana sebagai manusia yang arif, yang mampu menggunakan ilmunya dengan tepat untuk kebaikan semesta. Tentu saja, kita akan terlebih dahulu diwisuda. Bukan wisuda dimana kita diarak naik kuda dengan bendera himpunan, tapi wisuda dimana kita dimurnikan kembali. Supaya kita kembali bersih, supaya setiap pengalaman yang telah didapat ketika menjadi mahasiswa menjadi kebijaksanaan dan pembelajaran yang berarti untuk menjadi sarjana seutuhnya.
Itulah sekiranya bebanmu mengemban titel mahasiswa.
Seluruh informasi dan interpretasi di atas memang tidak bisa dikonfirmasi seluruh kebenarannya, anggap saja itu pendapatku semata. Namun, pemaknaan seperti ini menjadi penting karena inilah nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh orang yang pertama kali menggunakan kata-kata tersebut — setidaknya menurutku.
Tetapi, masih ada satu rantai makna yang hilang.
Bagaimana seorang mahasiswa bisa diwisuda menjadi seorang sarjana?
Mungkin itulah tugas dan hakikat dari perguruan tinggi atau universitas. Dan mungkin itu juga kenapa namanya adalah tri dharma perguruan tinggi, bukan tri dharma mahasiswa, sebab mungkin mahasiswa memang hanya seorang penghancur. Hal ini akan saya bahas di lain waktu.
Pada dasarnya, menjadi sesuatu adalah mengenal sesuatu. Menjadi mahasiswa adalah mengenal mahasiswa. Kebanyakan kita langsung memahami tanpa mengerti dan mengetahui, sehingga makna yang sesungguhnya akan terkaburkan.
Cobalah mengerti sebelum menjadi, Kawan.
Terima kasih kepada oknum B yang telah mengajarkan untuk membenci, membenci untuk mengerti, mengerti untuk menjadi.
Para Arifbillah yang tidak hanya sekedar mengenal tetapi juga mengerti akan kedudukan/Martabat Allah, tentu mereka itu telah “Karam” pada Lautan “Ahadiyah” Allah ‘Ta’ala. Di dalam ke “Karam” annya itu pandangannya hanya tertuju kepada Allah, baik di muka, di belakang, di kanan, di kiri, atas, bawah, luar dan dalam. Setiap waktunya selalu bersama Tuhannya baik di dalam suka maupun duka, baik dalam keramaian maupun dalam kesendiriannya.
Tidak banyak orang lain mengetahui tentang rahasia di dirinya, walaupun ia senantiasa berkumpul di dalam suatu keramaian tetapi Hatinya hanya bersama Tuhannya. Jiwanya telah merdeka dari segala ikatan-ikatan dunia. Apakah itu pangkat, kedudukan, harta dan segala Atribut-atribut yang lain.
Para pecinta Tuhan telah melepaskan pandangannya baik dari dirinya sendiri maupun kepada yang di luar dari dirinya, menyendiri di dalam kesendirian diri dan diam di dalam Hakikat Tuhannya.
Diriwayatkan Nabi Daud as. Sedang menyendiri di dalam Mihrab, setelah ia hanyut dalam kesendirian itu…
Tuhan berkata : “Hai Daud, sedang apakah engkau?”
Daud as : “Ya Tuhanku sesungguhnya Aku sedang menyendiri dalam kesendirianku”
Tuhan : “Apa yang engkau lihat hai Daud?”
Daud as : “Aku pandang akan diriku dalam Musyahadah bahwa tidak ada Daud yang ada hanya
Aku, dan kupandang lagi lebih dalam ‘tidak ada Aku yang ada hanya Engkau ya Robb”
Tuhan : “Hai Daud! Jika demikian berarti engkau telah “Murtad”, Murtad dari dirimu sendiri”
Engkau telah keluar dari dirimu sendiri sehingga tidak ada lagi yang ada pada dirimu,
Dan Engkau nyatakan yang ada hanya “Aku”. Karena itu Engkau telah masuk kedalam
Ke “DIAM” an Sir/Rahasia-Ku, dan Engkau telah sampai kepada-Ku.
Bagi para penuntut/salik yang berjalan menuju kepada Allah, maka mereka akan melalui beberapa tahapan-tahapan/kedudukan-kedudukan yang mana akhir tahapan itu adalah “DIAM”.
“DIAM” itu adalah suatu Maqom Qodimnya Allah Swt yang mana di sampaikan oleh beberapa Arifbillah dengan Sir/Rahasia/Singgasana Allah Swt.
Dalam sebuah kitab “Ad-Durunnafis”, dikatakan bahwa “DIAM” itu adalah Maqom yang tinggi yaitu Maqom Tuhan Robbul ‘Alamiin pada Singgasana Allah swt.
Di dalam ke “DIAM”an itu Hakikat Muhammad Saw bermaqom, dan dari situlah sumber Kalam Allah yang berbunyi : “Kun” dan “ Fayakun”.
Setiap para Arifbillah di antara para kekasih-kekasih dan Pecinta Sejati Allah, mereka telah sampai kepada Maqom ke “DIAM” an tsb. Maqom yang mengangkat Derajad dan Martabatnya kepada “Insan Kamil Mukamil” dan berkedudukan sebagai Waliyullah yang senantiasa tidak pernah Alfa dari mengingat Allah baik dalam kesendiriannya maupun dalam keramaiannya.
Adapun untuk sampai pada Maqom tsb, tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam pengembaraan Spiritualnya adalah :
Fungsi dan peranan pers menurut Harold D. Lasswell & Charles R. Wright (Keduanya ahli dalam komunikasi media massa) :
a. Fungsi media sebagai alat pengamat sosial (Social Surveillance)
Media massa adalah badan atau lembaga yang seharusnya memberikan dan menyebarkan informasi dan interpretasi (pemahaman) yang objektif terhadap peristiwa peristiwa yang ada disekitar mereka (Social surveillance).
b. Fungsi media sebagai alat korelasi sosial (social correlation)
Media massa seharusnya menyatukan kelompok kelompok sosial yang ada dengan jalan menyalurkan informasi tentang pandangan pandangan yang ada sehingga tercapai suatu konsensus.
c. Fungsi media sebagai alat Sosialisasi (Sosialization)
Media massa seharusnya sebagai alat sosialisasi tentang nilai nilai sosial yang ada dan mewariskannya baik dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
Fungsi pers dan peranan pers selain ketiga diatas seperti dijelaskan pada beberapa sumber, diantaranya:
a. Media Informasi
b. Media Pendidikan
c. Media Hiburan
d. Media Kontrol Sosial
e. Sebagai Lembaga Ekonomi
Fungsi pers lainnya selain diatas yang paling sering digunakan dan diketahui oleh hampir semua petinggi negara adalah sebagai alat propaganda dan alat pemerintahan untuk mengontrol warga dan penduduk suatu negara.
Sekian artikel tentang pengertian pers, fungsi dan peranan pers.
1. Adinegoro
Dalam buku “Hukum Komunikasi Jurnalistik“ yang diterbitkan pada tahun 1984, Adinegoro mendefinisikan Jurnalistik sebagai sebuah kepandaian dalam hal mengarang (red: menyusun kata) yang tujuan pokoknya adalah untuk memberikan kabar/ informasi pada masyarakat umum secepat mungkin dan tersiar seluas mungkin. Menurut Adinegoro, Jurnalistik mempelajari seluk beluk penyiaran berita, dalam berbagai media pers, termasuk juga dalam teater, film, atau rapat.
2. Muis
Muis berpendapat bahwa cukup banyak definisi tentang jurnalistik, namun secara umum definisi tersebut memiliki kesamaan; yaitu memasukan unsur media massa, penulisan berita, dan waktu yang tertentu (aktualitas).
3. Asep Syamsul M. Romli
Dalam buku “Jurnalistik Dakwah” yang diterbitkan pada tahun 2003, Asep Syamsul M Romli mengemukakan bahwa Jurnalistik merupakan sebuah proses kegiatan dalam mengolah, menulis, dan menyebarluaskan berita dan atau opini melalui media massa.
4. Astrid Susanto
Dalam buku “Komunikasi Massa” yang terbit pada tahun 1986, Astrid Susanto memberikan pengertian Jurnalistik sebagai suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dalam mencatata dan melaporankan serta menyebarkan informasi kepada masyarakat umum. Informasi yang dimaksud berkenaan dengan kegiatan sehari-hari.
5. W. Widjaya
A.W. Widjaya berpendapat bahwa Jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi. Kegiatan komunikasi ini dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasan; berupa ulasan peritiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual. Penyiaran berita dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
6. Djen Amar
Dalam buku “Hukum Komunikasi Jurnalistik” terbitan tahun 1984, Djen Amar mengemukakan bahwa Jurnalistik merupakan suatu kegiatan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita secepat mungkin dan seluas mungkin kepada khalayak. Djen Amar juga mengatakan jurnalistik merupakan usaha memproduksi kata dan gambar untuk dapat mentransfer suatu ide atau gagasan.
7. A.S. Haris Sumadiria, M.Si
Dalam buku “Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional” terbitan tahun 2005, Haris Sumadiria menyatakan pengertian Jurnalistik sebagai suatu kegiatan yang menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita. Dilakukan secara berkala, secepat mungkin dan seluas mungkin dan ditujukan kepada masyarakat umum.
8. Edwin Emery
Edwin Emery berpendapat bahwa dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (timeliness atau aktualitas). Oleh sebab itu Jurnalis memiliki dua fungsi utama, yaitu untuk melaporkan berita dan untuk membuat interpretasi serta memberikan pendapat berdasarkan berita yang dilaporkannya.
9. Erik Hodgins
Dalam buku “Pengantar Jurnalistik, Seputara Organisasi, Produk dan Kode Etik” terbitan tahun 2004, dikutip bahwa Erik Hodgins bependapat bahwa Jurnalistik merupakan pengiriman informasi, dari suatu tempat ke tempat lain. Pengiriman informasi ini dilakukan dengan benar, seksama, dan cepat dalam rangka membela kebenaran dan keadilan berpikir yang selalu dapat dibuktikan.
10. Fraser Bond
Dalam bukunya “An introduction to Journalism” yang terbit pada tahun 1961, Fraser Bond menulis: “Jurnalism ambraces all the forms in which and trough wich the news and moment on the news reach the public”. Yaitu bahwa Jurnalistik mencakup semua bentuk cara/ kegiatan yang dilakukan hingga sebuah ulasan/ berita dapat disampaikan kepada publik.
11. Hikmat & Purnama Kusumaningrat
Dalam buku “Jurnalistik, Teori dan Praktik” yang ditulis oleh Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, dikatakan bahwa asal kata Jurnalistik atau jurnalisme adalah Journal, yang berarti catatan harian. Dalam hal ini mengacu pada surat kabar, yang menyajikan catatan mengenai kejadian sehari – hari yang terjadi.
12. Kustadi Suhandang
Dalam bukunya “Pengantar Jurnalistik, Seputar Organisasi, Produk & Kode Etik” Kustadi Suhandang mendefinisikan jurnalistik sebagai sebuah seni dan atau keterampilan dalam mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari. Dilakukan secara indah, untuk memenuhi segala kebutuhan hati nurani pembaca.
13. Leslie Stephen
Leslie Stephen mengemukakan bahwa Jurnalistik merupakan penulisan tentang hal-hal yang penting dan tidak kita ketahui.
14. Ridwan
M Ridwan mengemukakan Jurnalistik adalah suatu kepandaian praktis dalam mengumpulkan, serta mengedit berita yang ditujukan untuk pemberitaan. Baik pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau terbitan terbitan berkala lainnya. M ridwan juga mengemukakan bahwa selain bersifat ketrampilan praktis, jurnalistik juga adalah sebuah seni.
15. Mac Dougall
Menurut Mac Dougall, Jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta & melaporkan peristiwa.
16. Martin Moenthadi
Jurnalistik atau jurnalisme merupakan pekerjaan kewartawanan untuk mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita di dalam surat kabar
17. Onong U. Effendi
Dalam bukunya, “Ilmu, Teoiri dan Filsafat Komunikasi” yang terbit pada tahun 1993, Onong Uchjana Effendy mengartikan Jurnalistik sebagai sebuah tehnik dalam mengelola berita. Mulai dari mendapatkan bahan hingga menyebarkannya kepada masyarakat secara luas. Onong U. Effendi juga mengemukakan bahwa pada mulanya jurnalistik hanya mengelola hal – hal yang bersifat informatif saja.
18. Roland E. Wolseley
Dalam buku “Understanding Magazines” terbitan tahun 1963, Rolland E Wolseley mengemukakan bahwa Jurnalistik mencakup beberapa aktivitas. Seperti mengumpulkan, menuliskan, menafsirkan, memproses, dan menyebar informasi umum juga pendapat pemerhati dan hiburan umum. Dilakukan secara sistematis dan dapat dipercaya sehingga dapat diterbitkan dalam surat kabar, majalah, atau disiarkan melalui statsiun penyiaran untuk menjangkau masyarakat luas.
19. Spencer Crump
Spencer Crump menuliskan: “Journalism covers all mankind’s activities, and challenging to the intellect. Journalism encompasses fields ranging from reporting with words and photographs to editing, and from newspaper to television.” Menurut Spencer Crump, Jurnalistik mencakup aktifitas pelaporan menggunakan kata – kata dan atau foto, hingga proses editing – penyajian pada semua media massa, mulai dari surat kabar hingga televisi.
20. Summanang
Secara singkat Summanang mengartikan Jurnalistik sebagai segala sesuatu yang menyangkut kewartawanan.
21. Menurut Bahasa:
Secara harfiah (etimologis, asal usul kata), jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
22. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Jurnalistik adalah kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya. Jurnalistik menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran
23. Ensiklopedi Indonesia
Jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.
24. Leksikon Komunikasi
Jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting dan menyebarkan berita dan karangan seseorang melalui surat kabar, majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi kepada masyarakat luas.
25. Wikipedia
“Journalism is the craft of conveying news, descriptive material and comment via a widening spectrum of media. These include newspapers, magazines, radio and television, the internet and even, more recently, the cellphone. Jurnalisme merupakan keterampilan dalam menyampaikan berita, deskripsi, komentar, melalui media massa. Meliputi Koran, majalah, radio, televisi, internet (baca: internet sebagai media komunikasi), juga telepon genggam.
26. Wikipedia Bahasa Indonesia
Jurnalisme yang berasal dari kata journal mempunyai arti catatan harian, atau catatan mengenai kegiatan sehari – hari. Dapat diartikan juga sebagai surat kabar.
27. Astrid S. Susanto
Jurnalistik merupakan suatu kegiatan catat – mencatat atau laporan yang disebar dan dilakukan sehari – hari.
Berikut beberapa pengertian jurnalistik foto, diantaranya:
28.Wilson Hick
Beliau merupakan seorang redaktur senior dalam majalah ’Life’ (1937-1950). Kemudian, dalam buku World and Pictures, Wilson megungkapkan bahwa jurnalistik foto merupakan media komunikasi verbal dan visual yang hadir di waktu yang sama.
29. Henri Cartier-Bresson
Seorang pendiri agen foto yang populer di dunia. Beliau memiliki teori yang berjudul Decisive Moment. Menurutnya, jurnalistik foto merupakan cara untuk berkisah melalui sebuah gambar, mengabadikannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung dalam waktu bersamaan disaat suatu citra tersebut mengungkap sebuah cerita.
30.Oscar Motulohm
Oscar Motulohm merupakan salah satu fotografer professional. Ia menganggap bahwa kegiatan jurnalistik foto merupakan media penyaji informasi untuk menyampaikan macam – macam pesan dalam bentuk visual kepada masyarakat secara cepat dan luas.
31. Photojournalistic
Sebuah buku terbitan Time life mengungkap bahwa ragam foto yang diabadikan para wartawan adalah sebuah penekanan dari fakta otentik. Foto – foto itu tersebut dianggap lebih bisa menggerakan hati penikmat berita dan menimbulkan sebuah rasa empati.
32. Asep Syamsul Romli
Menurut Beliau, jurnalistik online merupakan generasi ketiga dari jurnalistik secara umum. Jurnalistik online merupakan suatu proses penyebaran informasi yang menggunakan media baru yaitu internet.
33. Wikipedia
Jurnalistik online atau jurnalistik digital adalah bentuk jurnalisme kontemporer (masa kini) yang menyebarkan informasi berupa konten editorial (karya jurnalistik) melalui internet sebagai kebalikan dari publikasi media cetak atau elektronik.
SEJARAH JURNALISTIK DAN PERKEMBANGANNYA
Dalam perkembangan jurnalistik, terkait penentuan jurnalis pertama dan kapan kegiatan jurnalistik pertama dilakukan, para ahli senantiasa merujuk pada Romawi masa Julius Caesar (100-44 SM). Jules meneruskan tradisi raja-raja terdahulu untuk menyiarkan kabar mengenai keputusan senat di papan pengumuman, Acta Diurna. Jules berpikir, walaupun kekuasaannya tanpa batas, ia harus mendapatkan inisiasi dari publik Roma.
Istilah Jurnalis
Sejak saat itu, dikenal istilah Jurnalis yang berasal dari kata diurnalis atau mereka yang menjadi juru tulis senat. Padahal, jika para ahli sains percaya adanya agama, perkembangan jurnalistik sudah ada pada masa sebelum Jules. Misalnya, catatan Eumenes, 363 SM. Ia telah membuat kisah orang-orang ternama masa itu, dari Alexander yang agung sampai Aristoteles. Lebih jauh lagi beribu tahun ke belakang adalah masa Nabi Nuh.
Konon, saat banjir besar menghantam bumi atau berakhirnya zaman es, riak jurnalistik sudah terbangun. Nabi Nuh AS membutuhkan kabar yang akurat dan faktual tentang kondisi daratan. Dikirimlah jurnalis dadakan, namun bisa dipercaya karena memiliki kemampuan “radar magnetis” dan otak kecil alat navigasi di hidungnya. Ya, burung merpati.
Si Merpati barangkali pangkatnya seorang reporter investigasi yang diminta mencari tahu kadar kesurutan air. Merpati terbang berkeliling hingga menemukan ranting zaitun yang menyebul di lautan. Ranting itu dipatuk, lantas dibawa sehingga Nabi Nuh mengetahui kabar akurat mengenai surutnya air.
China
Pada perkembangan selanjutnya, tradisi tulisan berlanjut di China. Surat kabar pertama pun lahir, King Pao. Surat kabar yang mengabarkan titah kaisar. Lantas, jurnalis tulis menulis sedikit surat di zaman kegelapan Eropa walaupun mendapat tempat manis di Asia. Pada masa itu, orang Eropa mengandalkan para penyair dari hall ke hall untuk mengabarkan kisah para raja dan pahlawan.
Perkembangan berarti berlangsung pada abad pertengahan. Yakni, hadirnya mesin cetak. Guttenberg (1450), dengan izin Tuhan, benar-benar merevolusi dunia. Kehadiran mesin cetak telah membawa jurnalisme ke titik 100 persen. Kemudian, lahir media massa pertama di Eropa yang tidak ditujukan untuk para raja semata. Yakni, Gazzeta di Venesia.
Sebagaimana umumnya kota Italia yang menganggap raja atau doge sebagai patron, kota dan para pengurusnya bersikap mandiri. Kemandirian informasi di Venesia inilah yang melahirkan Gazzeta.
Amerika
Di Amerika Utara, perkembangan pers mengikuti sejarah unik penjajahan Inggris pada dataran kolonialnya. Orang kolonial Amerika Utara itu, bahkan, memulihkan nama journalism sebagai kegiatan pencarian berita. Sementara di tanah Inggris sendiri, lahir Oxford Gazzete. Nama newspapper mulai digunakan menggantikan Gazzete yang berbau pizza Italia.
Pada masa awal revolusi Industri, masa Descartes usai mencerahkan Eropa dengan filsafat ilmunya, jurnalistik mulai dipandang sebagai ilmu baru di ranah sosial. Karl Bucher dan Max Weber di Universitas Basel Swiss memperkenalkan cabang baru ilmu persuratkabaran, Zeitungkunde pada 1884.
Di Amerika Utara, lahirlah sekolah beken dalam urusan jurnalis, Columbia School of Journalism pada 1912 oleh Joseph Pulitzer. Pada abad ke-20, kepakaran dan profesi semakin mencair. Ilmu dan teori jurnalisme semakin berkembang, kode etik dilahirkan, teknik pemberitaan diperluas. Nama-nama harum, seperti Hunter S. Thompson, Hearst, atau Tom Wolfe, mengembangkan jurnalisme sebagai teknik dan konglomerasi.
SUMBER: http://forumwartawanindonesia.blogspot.com/2012/01/sejarah-jurnalistik-dan-perkembangannya.html
SEJARAH JURNALISME DI INDONESIA
Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesiasebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempomerupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KP
Jurnalistik Indonesia Sebelum Merdeka
Di Indonesia pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika sebuah surat kabar bernama “Bataviasche Nouvelles” diterbitkan dengan perusahaan orang-orang Belanda. Surat kabar yang pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai tahun 1854 ketika majalah “Bianglala” diterbitkan, disusul oleh “Bromartani” pada tahun 1885, kedua-duanya di Weltevreden, pada tahun 1856 “Soerat Kabar Bahasa Melajoe” di Surabaya. Sejak itu bermunculanlah berbagai surat kabar dengan pemberitaan bersifat informatif, sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan itu.
Sejarah pers pada abad 20 ditandai dengan munculnya koran pertama milik Bangsa Indonesia. Modal dari bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia, yakni “Medan Prijaji” yang terbit di Bandung. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisuryo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, yakni tahun 1907 berbentuk mingguan, kemudian pada tahun 1910 diubah menjadi harian.
Tirto Hadisuryo ini dianggap sebagi pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain-lain. Setelah Boedi Oetomo lahir yang diikuti oleh gerakan-gerakan lainnya, baik yang berasaskan kebangsaan maupun yang berdasarkan keagamaan, jumlah surat kabar yang dikelola Indonesia semakin bertambah karena organisasi-organisasi tersebut menyadari bahwa untuk menyebarluaskan misinya diperlukan media massa, yang pada waktu itu hanya surat kabar-lah yang dapat dipergunakan.
Ditinjau dari sudut jurnalistik salah seorang tokoh bernama Dr. Abdoel Rivai dianggap sebagai wartawan yang paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap kolonialisme Belanda. Oleh Adinegoro, Dr. Rivai diberi julukan “Bapak Jurnalistik Indonesia” dan diakui oleh semua wartawan pada waktu itu sebagai kolumnis Indonesia yang pertama.
Jurnalistik Indonesia Pasca Kemerdekaan
Seperti juga di belahan dunia lain, persIndonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koranApi Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Pada tanggal 1 Oktober 1945 terbit Harian Merdeka sebagi hasil usaha kaum Buruh De Unie yang berhasil menguasai percetakan. Pada saat revolusi fisik itu jurnalistik Indonesia mempunyai fungsi yang khas. Hasil karya wartawan bukan lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang diFront. Berita yang dibuat para wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela kemerdekaan, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda yang disiarkan melalui berbagai media massanya.
Pada tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan UUDS. Pada waktu itu yakni waktu pengakuan kedaulatan sampai tahun 1959 yaitu munculnya doktrin demokrasi terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci-maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan agar lawan politiknya itu jatuh namanya dalam pandangan khalayak.
Antara tahun 1955 sampai 1958 dengan UU No. 23 tahun 1954 banyak surat kabar yang dibredel, banyak pula wartawan yang ditangkap dan ditahan. Tanggal 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers Indonesia. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk lebih mengetatkan kebebasan terhadap pers. Persyaratan untuk mendapatkan SIT diperkeras. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudahan lahir peraturan baru yang lebih mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pendapatnya dan pikirannya.
Departemen Penerangan mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau majalah harus didukung oleh suatu partai politik atau tiga organisasi massa. Surat kabar di daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda dengan organ resmi dari induk tempat ia berafiliasi di Pusat harus mengubah namanya sehingga sama dengan organnya di Jakarta. Akibat peraturan itu dapat dibayangkan bagaimana corak jurnalistik Indonesia pada waktu itu, ruang para wartawan dipersempit, keterampilan dikekang, daya pikir ditekan. Tahun 1966 bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah dikeluarkannya UU No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers.
Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, sejarah perkembangan pers dan jurnalistik Indonesia sejak saat itu menggembirakan dan membanggakan kita. Pada tahun 1988 tercatat ada 263 penerbitan pers, pada tahun 1992 jumlah tersebut meningkat menjadi 277 penerbitan pers.
Jurnalistik Indonesia Zaman Orde Baru
Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, 1965–1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia, memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan roh ekonomi daripada dimensi politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur tetapi sebagai wahana ekspresi, penyalur pendapat umum, pengemban fungsi kontrol sosial, pers Indonesia dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari pihak penguasa pusat dan daerah. Orde Baru sangat menyanjung ekonomi namun membenci politik. Sepanjang 1980, fungsi pers masih mengalami penciutan, bersamaan dengan pengetatan pengendalian oleh pemerintah terhadap kegiatan politik dalam masyarakat. Fungsi utama pers sebagai komunikator informasi telah mengalami kemunduran sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain sebagai sarana hiburan. Pers mengalami kepincangan terutama dalam bidang pendidikan politik.
Kebebasan jurnalistik, kebebasan pers, dalam dua dari tiga dasawarsa kekuasaan monolitik Orde Baru, hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 28 UUD 1945. Disebut sebagai era pers tiarap Orde Baru. Hanya dengan tiarap, dengan mengendap-endap pers kita diharapkan bisa tetap bertahan hidup. Strategi inilah yang dipilih sebagian pers nasional untuk meloloskan diri dari jebakan-jebakan kematian. Orde Baru pun akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998, lahirlah kemudian apa yang disebut Orde Reformasi.
Jurnalistik Indonesia Zaman Reformasi
Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Terjadi euforia di mana-mana kala itu.
Secara yuridis, UU Pokok Pers No 21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No 40/1999. Dengan undang-undang baru dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk organisasi pers mana pun. Hal ini ditegaskan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pokok Pers No 40/1999, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Ditegaskan lagi pada ayat (2), setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Kewenangan pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut Pasal 6 Pokok Pers No. 40/1999, pers nasional melaksanakan peranan: (1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (2) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan,
(3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhdap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (5) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan diperjuangkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Hidup, menurut kaidah manajemen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka, menurut kasidah demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu saja supremasi hukum.
Jurnalistik Indonesia Hari Ini
Setelah mengalami era kebebasan dan kemerdekaan selama sepuluh tahun, pers kembali dihadapkan kepada sesuatu yang dilematis. Di satu sisi, runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru membuat dunia pers menikmati masa gemilang dengan kebebaan yang seolah tak terbatas. Namun, di sisi lain, liberalisasi pada akhirnya mengundang kekhawatiran publik.
Apakah pers harus mempertahankan atau mengerem kebebasan yang dimiliki. Dampak-dampak negatif akan bermunculkan dari kebebasan dan industrialisasi pers.
Hal itu terjadi dengan adanya beberapa pers yang tidak menggunakan etika pers atau kode etik jurnalistik dalam melaksanakan kegiatan jurnalisme. Tidak adanya pembatasan yang ketat akan semakin membuat dunia pers terbawa arus liberalisasi. Contoh halnya pada media elektronik seperti televisi. Begitu banyak tayangan-tayangan yang memperlihatkan nilai yang jauh dari kewajaran. Seakan-akan kebebasan pers ini memberikan ruang gerak yang besar untuk bisa mengekspresikan segala hal, baik itu yang positif, terlebih yang negatif.
Teknologi Berpengaruh Besar Terhadap Sejarah Jurnalisme
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehinggadeadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.
Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadiblog saja.
Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D. Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.
Dalam penggunaan teknologi, Indonesia mungkin agak terlambat dibanding dengan media massa dari negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris. Tetapi untuk saat ini penggunaan teknologi di Indonesia –terutama untuk media televisi– sudah sangat maju. Lihat saja bagaimana Metro TV melakukan laporan live dari Banda Aceh, selang sehari setelah bencana gelombang tsunami melanda wilayah itu. Padahal saat itu aliran listrik dan telepon belum tersambung
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai media komunikasi.
Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia (TVRI) muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Di masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembredelan (pemberangusan) media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh nyata dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan (Deppen) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI, pada 1998. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi kewartawanan. Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.
Berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
“Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam sejarah Islam, cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
Masa Perkembangan
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
Teknologi Informasi
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.
Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.
Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.*
Referensi:
1. Assegaff, 1982, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar Ke Praktek Kewartawanan, Jakarta, Ghalia Indonesia.
2. Muis, A. 1999, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, Jakarta: PT. Dharu Annutama.
3. Kasman, Suf. 2004, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Qur’an, Jakarta, Penerbit Teraju
4. Romli, Asep Syamsul M. 2005, Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan, Bandung, Batic Press
5. Suhandang, Kustadi. 2004, Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Bandung, Penerbit Nuansa.
6. Sumadiria, AS Haris. 2005, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung, Simbiosa Rekatama Media.